Selasa, 03 Juli 2012

Lumba-lumba Sembuhkan Autis


Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan sibuk dalam dunianya sendiri (Baron-Cohen,1993).
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan sensorik dan motorik, serta perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autis. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autis Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia.

Penderita autis menunjukkan beberapa perilaku aneh dalam perkembangannya. Pertama, mengalami keterlambatan dalam berbicara atau berbahasa. Kedua, penderita autis tidak memiliki ketertarikan untuk berteman atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Ketiga, menjadi sangat aktif atau justru sebaliknya menjadi sangat pasif. Keempat, mengalami kelainan pengindraan (menjadi sensitive terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa). (Harmanto, 2010)
Autis memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Ada beberapa jenis terapi yang dapat digunakan untuk menyembuhkan autisme, yaitu: Applied Behavioral Analysis (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi sosial dan Dolphin Assisted Therapy (DAT). Namun, terapi yang paling diminati saat ini adalah Dolphin Assisted Therapy (DAT). Di Indonesia, DAT sering disebut dengan terapi lumba-lumba karena memanfaatkan lumba-lumba sebagai alat terapi.
Dolphin Assisted Therapy (DAT) adalah salah satu terapi yang menggunakan bantuan hewan (lumba-lumba), dan dapat memberikan efek perbaikan terhadap pikiran dan fungsi tubuh, serta kualitas hidup. Sejak tahun 1978 oleh Dr David Nathanson, DAT telah digunakan sebagai terapi untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan motorik pada pasien yang didiagnosa mengalami gangguan perkembangan fisik dan/atau emosional, seperti retardasi mental, sindrom Down, dan autisme (Hadi, 2008). Para dokter di Dolphin-Human Therapy Centre percaya bahwa hewan yang sangat cerdas ini dapat membantu anak-anak denga berbagai gangguan saraf, bahkan Sindrom Down dan autisme (Diana, 2012).
DAT bertujuan untuk meningkatkan aktivitas sensori anak. Dalam program yang berlangsung di kolam renang dengan lumba-lumba ini, terapis akan membantu anak-anak autisme. Anak-anak akan diminta untuk berenang, menyentuh, memberi makan atau mengelus-elus hewan tersebut. Selanjutnya terapis akan bekerja dan membantu pada area tertentu seperti berbicara, bertingkah dan keahlian motorik. Terapis akan mendisain program sesuai dengan kebutuhan anak.
 Menurut Dr Cole, ketua  Aquathought Foundation, berenang dengan lumba-lumba bisa menciptakan perubahan sel-sel psikologi dan jaringan dalam tubuh. Lumba-lumba mempunyai sonar alami. Mereka akan memancarkan gelombang ultrasound untuk menentukan lokasi benda dan untuk berkomunikasi. Bunyi yang dikeluarkan lumba-lumba sangat kuat sehingga bisa menyebabkan pembentukan lubang di struktur molekul-molekul cairan dan jaringan lunak.
Cole meyakini bahwa frekuensi sinyal lumba-lumba berpengaruh kuat terhadap otak manusia dengan cara memodifikasi aktivitas gelombang otak. Hasil tes yang dilakukan pada manusia menunjukkan kalau bunyi ini bisa mengubah frekuensi otak manusia dari beta menjadi alpha. Bunyi ini membuat kedua belahan otak lebih sinkron sehingga komunikasi antara otak kanan dan kiri menjadi jauh lebih baik. Selain itu, terapi lumba-lumba ini juga dinyatakan bisa membuat perubahan emosi yang kuat, menenangkan anak-anak, meningkatkan kemampuan komunikasi dan konsentrasi, memperbaiki fungsi motorik dan koordinasi, membuat kontak mata, senyum, tawa, dan daya sentuh anak semakin baik, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. (Tarigan, 2009)
Menurut laporan terakhir dari NPO Aspe Elde di Jepang, terapi lumba-lumba mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap penderita autis. Tidak hanya berdasarkan laporan tersebut, tetapi ternyata laporan dari berbagai negara di dunia juga memberikan dampak positif yang sama terhadap penderita autis (Hadi, 2008). Sebagai contoh, hasil pengamatan Carla Henco dan Tsuzuki Keiko terhadap terapi berbantuan lumba-lumba di Australia (2006) menunjukkan bahwa fungsi motorik halus dan kasar anak-anak, proses belajar, kemampuan kognitif, konsentrasi dan komunikasi, serta kemampuannya untuk berinteraksi dengan orang lain menjadi lebih baik. Mereka selalu mencatat kejadian sebelum dan sesudah terapi, hasilnya selalu menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan diri, motivasi, kesadaran dan kreativitas pada anak-anak.

Daftar Referensi
Diana, Dewi Ferlina Mart. (2012). Terapi Lumba-lumba untuk Anak Autis. (Online). (http://blog.elearning.unesa.ac.id, diakses 18 Juni 2012).
Hadi, Upik Kesumawati. (2008). Persembahan untuk Anakku. Perjuangan Penyembuhan Autisme melalui Terapi Lumba-lumba. Jakarta: Arga Publisher.
Harmanto, Ning. (2009). Ciri-ciri Anak Autis. (Online). (http://doktersehat.com, diakses 18 Juni 2012)
Tarigan, Ikarowina. (2009). Terapi Lumba-lumba untuk Anak Autisme. (Online). (http://www.mediaindonesia.com, diakses 18 Juni 2012).
Yusri. (2011). Mengenal Penyakit Autisme. (Online). (http://www.kesehatan123.com, diakses 18 Juni 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar