Autisme adalah suatu kondisi
mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya
tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya
anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan sibuk dalam dunianya sendiri
(Baron-Cohen,1993).
Menurut Power (1989)
karakteristik anak dengan autisme adalah adanya gangguan dalam bidang interaksi
sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku-emosi, pola bermain, gangguan
sensorik dan motorik, serta perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala
ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak
berusia 3 tahun. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau
tidak, digunakan standar internasional tentang autis. ICD-10 (International Classification of Diseases)
1993 dan DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autis Infantil
yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia.
Penderita autis menunjukkan
beberapa perilaku aneh dalam perkembangannya. Pertama, mengalami keterlambatan
dalam berbicara atau berbahasa. Kedua, penderita autis tidak memiliki
ketertarikan untuk berteman atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Ketiga, menjadi sangat aktif atau justru sebaliknya menjadi sangat pasif.
Keempat, mengalami kelainan pengindraan (menjadi sensitive terhadap cahaya,
pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa). (Harmanto, 2010)
Autis memiliki kemungkinan untuk
dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Ada
beberapa jenis terapi yang dapat digunakan untuk menyembuhkan autisme, yaitu: Applied Behavioral Analysis (ABA),
terapi wicara, terapi okupasi, terapi sosial dan Dolphin Assisted Therapy (DAT). Namun, terapi yang paling diminati
saat ini adalah Dolphin Assisted Therapy
(DAT). Di Indonesia, DAT sering disebut dengan terapi lumba-lumba karena
memanfaatkan lumba-lumba sebagai alat terapi.
Dolphin Assisted Therapy (DAT) adalah salah satu terapi yang
menggunakan bantuan hewan (lumba-lumba), dan dapat memberikan efek perbaikan
terhadap pikiran dan fungsi tubuh, serta kualitas hidup. Sejak tahun 1978 oleh
Dr David Nathanson, DAT telah digunakan sebagai terapi untuk meningkatkan
keterampilan berbicara dan motorik pada pasien yang didiagnosa mengalami
gangguan perkembangan fisik dan/atau emosional, seperti retardasi mental,
sindrom Down, dan autisme (Hadi, 2008). Para dokter di Dolphin-Human Therapy Centre percaya bahwa hewan yang sangat cerdas
ini dapat membantu anak-anak denga berbagai gangguan saraf, bahkan Sindrom Down
dan autisme (Diana, 2012).
DAT bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas sensori anak. Dalam program yang berlangsung di kolam renang dengan
lumba-lumba ini, terapis akan membantu anak-anak autisme. Anak-anak akan
diminta untuk berenang, menyentuh, memberi makan atau mengelus-elus hewan
tersebut. Selanjutnya terapis akan bekerja dan membantu pada area tertentu
seperti berbicara, bertingkah dan keahlian motorik. Terapis akan mendisain
program sesuai dengan kebutuhan anak.
Menurut Dr Cole, ketua Aquathought
Foundation, berenang dengan lumba-lumba bisa menciptakan perubahan sel-sel
psikologi dan jaringan dalam tubuh. Lumba-lumba mempunyai sonar alami. Mereka
akan memancarkan gelombang ultrasound untuk menentukan lokasi benda dan untuk
berkomunikasi. Bunyi yang dikeluarkan lumba-lumba sangat kuat sehingga bisa
menyebabkan pembentukan lubang di struktur molekul-molekul cairan dan jaringan
lunak.
Cole meyakini bahwa frekuensi
sinyal lumba-lumba berpengaruh kuat terhadap otak manusia dengan cara
memodifikasi aktivitas gelombang otak. Hasil tes yang dilakukan pada manusia
menunjukkan kalau bunyi ini bisa mengubah frekuensi otak manusia dari beta menjadi
alpha. Bunyi ini membuat kedua belahan otak lebih sinkron sehingga komunikasi
antara otak kanan dan kiri menjadi jauh lebih baik. Selain itu, terapi
lumba-lumba ini juga dinyatakan bisa membuat perubahan emosi yang kuat,
menenangkan anak-anak, meningkatkan kemampuan komunikasi dan konsentrasi,
memperbaiki fungsi motorik dan koordinasi, membuat kontak mata, senyum, tawa,
dan daya sentuh anak semakin baik, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
(Tarigan, 2009)
Menurut laporan terakhir dari NPO
Aspe Elde di Jepang, terapi lumba-lumba mempunyai pengaruh yang sangat baik
terhadap penderita autis. Tidak hanya berdasarkan laporan tersebut, tetapi
ternyata laporan dari berbagai negara di dunia juga memberikan dampak positif
yang sama terhadap penderita autis (Hadi, 2008). Sebagai contoh, hasil
pengamatan Carla Henco dan Tsuzuki Keiko terhadap terapi berbantuan lumba-lumba
di Australia (2006) menunjukkan bahwa fungsi motorik halus dan kasar anak-anak,
proses belajar, kemampuan kognitif, konsentrasi dan komunikasi, serta
kemampuannya untuk berinteraksi dengan orang lain menjadi lebih baik. Mereka
selalu mencatat kejadian sebelum dan sesudah terapi, hasilnya selalu
menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan diri, motivasi, kesadaran dan
kreativitas pada anak-anak.
Daftar Referensi
Diana, Dewi Ferlina Mart. (2012).
Terapi Lumba-lumba untuk Anak Autis. (Online).
(http://blog.elearning.unesa.ac.id, diakses 18 Juni 2012).
Hadi, Upik Kesumawati. (2008).
Persembahan untuk Anakku. Perjuangan Penyembuhan Autisme melalui Terapi
Lumba-lumba. Jakarta: Arga Publisher.
Harmanto, Ning. (2009). Ciri-ciri
Anak Autis. (Online). (http://doktersehat.com, diakses 18 Juni 2012)
Tarigan, Ikarowina. (2009).
Terapi Lumba-lumba untuk Anak Autisme. (Online).
(http://www.mediaindonesia.com, diakses 18 Juni 2012).
Yusri. (2011). Mengenal Penyakit
Autisme. (Online). (http://www.kesehatan123.com, diakses 18 Juni 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar